Harta karun yang banyak diburu di dunia ternyata tersimpan di bumi Indonesia. Itu adalah logam tanah jarang alias rare earth. Sumber daya ini diklaim memiliki nilai ekonomi yang besar dan dunia sedang berlomba-lomba mencarinya.
Logam tanah jarang merupakan mineral ikutan yang bersifat magnetik dan konduktif yang digunakan menjadi komponen utama dalam pemberian daya terhadap sebagian besar perangkat elektronik atau gadget, yakni ponsel, tablet, speaker, dan sebagainya.
Saat ini penggunaan logam tanah jarang juga mulai banyak ditemukan di berbagai sektor, mulai dari untuk bidang kesehatan, otomotif, penerbangan, bahkan hingga industri pertahanan.
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan Indonesia sebenarnya terlambat mengeksplorasi logam tanah jarang. Maka dari itu, saat ini belum banyak informasi pasti yang bisa didapatkan soal potensi yang ada.
Dia mengatakan sejauh ini ada sekitar delapan lokasi yang terpetakan memiliki kandungan rare earth di Indonesia. Itu pun masih baru dalam tahap eksplorasi awal..
"Dalam tahapan eksplorasi kita terbatas, dari potensi yang ada keterdapatannya ada di 9 lokasi, dan sudah terpetakan baru di 8 lokasi," ungkap Ridwan.
"Dari 8 lokasi ini baru dilakukan eksplorasi awal secara umum kami sangat terbatas informasinya," katanya.
Dia bilang paling banyak logam tanah jarang berada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di pertambangan timah. Ada puluhan bahkan ratusan ribu ton potensi logam tanah jarang di provinsi tersebut.
"Paling banyak memang ada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Bangka Selatan," ujar Ridwan.
Dalam data yang dipaparkan Ridwan, di Bangka Belitung ada potensi logam tanah jarang sebesar 186.663 ton logam tanah jarang dalam bentuk monasit dan 20.734 logam tanah jarang dalam bentuk senotim.
Ada juga logam tanah jarang dalam bentuk laterit di Sulawesi Tengah sebesar 443 ton dan Kalimantan Barat sebesar 219 ton. Ada juga potensi di Sumatera Utara sebesar 19.917 ton.
PT Timah menjadi salah satu perusahaan yang akan mengembangkan pengelolaan logam tanah jarang di Indonesia. Direktur Utama PT Timah Achmad Ardianto mengatakan saat ini pihaknya sedang mencari teknologi untuk mengekstraksi rare earth dari mineral monasit. Mineral tersebut banyak ditemukan di hasil tambang timah.
Achmad mengatakan pihaknya sedang bekerja sama melakukan penelitian teknologi pengolahan logam tanah jarang dengan perusahaan Kanada. Tepatnya dengan Canada Rare Earth Corporation. Kerja sama penelitian dilakukan untuk mencari teknologi yang dapat mengekstraksi rare earth dengan produksi 1.000 ton per tahun.
Sejauh ini, menurutnya teknologi yang ada kebanyakan digunakan untuk memproduksi rare earth 4.000 ton per tahun. Sedangkan, dari total potensi rare earth yang ada di Indonesia lebih cocok dengan teknologi yang dapat memproduksi 1.000 ton per tahun.
"Saat ini ada agreement dengan Canadian Rare Earth Corporation itu g to g, di-endorse oleh Kedubes Kanada. Kami melakukan kerja sama penelitian untuk mencari teknologi yang bisa di-scale down ke 1.000 ton," papar Achmad.
Diharapkan penelitian akan selesai tahun ini, dengan begitu pihaknya bisa menentukan di akhir tahun apakah teknologi yang diteliti bisa digunakan atau tidak. Bila teknologinya cocok, pihaknya akan memulai tahap EPC alias desain awal proyek pengolahan rare earth secara komersial.
"Kami harapkan tahapan penelitian bisa tuntas sebelum akhir tahun, jadi bisa kita putuskan go atau not go dengan teknologi ini. Kalau nggak cocok bisa kita cari yang lain," jelas Achmad.
China Minat, tapi Pelit Teknologi
Achmad menilai sebetulnya, teknologi ekstraksi rare earth sudah banyak dikembangkan di China. Hanya saja, negeri bambu sulit berbagi teknologi dengan negara lain untuk mengembangkan rare earth.
"Opsi paling gampang sebenarnya ke China, cuma China ini tertutup untuk endorsement teknologinya," kata Achmad dalam rapat kerja yang sama.
Kabarnya, China enggan membagikan teknologi terdepan dalam mengelola logam tanah jarang. Kata Achmad, China hanya ingin membagi teknologi kelas dua dari yang sudah ada. Pihaknya menilai teknologi tersebut mungkin bukan pilihan terbaik.
"Isu yang kami dengar adalah China hanya mau keluarkan teknologinya yang second tiers. Jadi sebenarnya sudah ada teknologi baru, yang terkini, tapi nggak dilepas," ungkap Achmad.
"Teknologi lama saja yang dilepas, jadi mungkin bukan pilihan terbaik juga bagi kita," imbuhnya.
Padahal menurutnya, China sangat meminati rare earth asal Indonesia. Bahkan, dia bilang ada satu perusahaan asal China yang mau memborong semua hasil produksi rare earth yang ada di Indonesia.
"Selain itu, ada perusahaan China yang katakan mau beli semua kalau nggak ada yang mau beli," lanjut Achmad.
Selain China, Achmad mengatakan perusahaan pertahanan dan penerbangan dari Amerika Serikat, Lockheed Martin sudah menyatakan minatnya membeli logam tanah jarang dari Indonesia.
"Saat ini Lockheed Martin sudah menunjukkan ketertarikannya untuk membeli logam tanah jarang dari Indonesia," jelas Achmad.
Namun menurutnya, pihaknya tak bisa begitu saja memilih siapa pembeli rare earth. Harus ada peran pemerintah untuk menentukan apakah rare earth akan digunakan di dalam negeri atau boleh diekspor.
"Bisa juga pemerintah RI untuk kuasai apakah untuk penerbangan, pertahanan," ungkap Achmad.
Meskipun banyak diincar, Achmad mengatakan secara ekonomi sebenarnya harga rare earth tak terlalu mahal. Dia juga menduga teknologi untuk mengekstraksi rare earth pun tak butuh biaya besar. Hanya saja menurutnya, saat ini rare earth sedang banyak dibutuhkan dan dicari banyak orang.
"Sebenarnya harganya sih nggak hebat-hebat amat, cuma memang ini akan selalu dibutuhkan. Dugaan saya teknologinya juga nggak mahal kelihatannya gitu. Karena produknya juga nggak mahal," ungkap Achmad.
Achmad menyatakan produk rare earth paling mahal mungkin hanya berkisar di antara US$ 6.000 per ton. Bila dirupiahkan jumlahnya hanya sekitar Rp 86,1 juta dengan kurs Rp 14.350.
"Itu antara yang paling mahal mungkin antara US$ 6.000-an per ton, yang bawah itu US$ 1500 hingga 2000-an per ton," kata Achmad.
Menurutnya, logam tanah jarang memiliki elemen strategis yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan di dunia. Sedangkan ketersediaannya tidak banyak.
"Logam tanah jarang ini memang memiliki elemen strategis yang sangat tinggi, sangat dibutuhkan oleh seluruh dunia, ketersediaan tidak banyak, dan pemilik teknologinya juga tidak banyak," jelas Achmad.
Sementara itu, dilansir Reuters, harga rare earth di China justru sedang bergejolak tinggi-tingginya yakni di level ratusan ribu dolar per ton. Harga tanah jarang telah melonjak sejak paruh kedua tahun 2021 di tengah kekhawatiran ketidakpastian pasokan dari Myanmar.
Harga rare earth paduan praseodymium-neodymium China berada di level US$ 218.395 per ton di awal Maret. Artinya, bila dirupiahkan mencapai Rp 3,13 miliar per ton. Material itu digunakan untuk membuat magnet super kuat untuk motor kendaraan listrik.
Sumber: https://finance.detik.com/